Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur Nias Selatan

Selasa, 04 Agustus 2009

Pendidikan

Walaupun terdapat alokasi yang signifikan untuk pengeluaran pendidikan – lebih 40 persen untuk Nias dan Nias Selatan – hal ini tidak tercermin dalam pengeluaran pendidikan per kapita yang tinggi. Kedua kabupaten memiliki pengeluaran publik per kapita untuk pendidikan yang secara signifikan lebih rendah dari rata-rata provinsi – Nias Selatan memiliki pengeluaran per kapita yang terendah di provinsi. Nias dan Nias Selatan memiliki beberapa pencapaian pendidikan yang terendah di Sumatera Utara. Persentase yang relatif besar dari penduduk dewasa di pulau Nias – 13.5 persen di Nias dan 39.2 persen di Nias Selatan – tidak pernah duduk di bangku sekolah. Ketidakmerataan antar kecamatan lebih terlihat, dengan beberapa kecamatan memiliki rasio murid-guru sebesar 70:1, jauh lebih tinggi dari rata-rata untuk pulau ini secara keseluruhan. Lebih dari 80 percent ruang kelas di pulau Nias dalam kondisi yang buruk. Mengingat relatif besarnya alokasi untuk pendidikan dari anggaran daerah, penggunaan yang lebih efisien dari sumber daya yang ada tampaknya merupakan satu-satunya cara untuk memperbaiki pelayanan pendidikan publik. Pengeluaran untuk Nias dan Nias Selatan harus diarahkan untuk mengisi kesenjangan yang terdapat dalam alokasi guru, dan juga untuk meningkatkan pemeliharaan atas ruang-ruang kelas yang ada. Pola pengeluaran saat ini tidak mengalokasikan sumber daya yang mencukupi untuk pemeliharaan, dengan sebagian besar pengeluaran rutin digunakan untuk membiayai gaji guru.



Kesehatan

Meski sudah ada perbaikan dalam tahun-tahun terakhir, pencapaian kesehatan di pulau Nias masih tertinggal dari rata-rata provinsi dan nasional. Pulau Nias memiliki angka kematian bayi yang jauh lebih tinggi daripada Sumatera Utara dan Indonesia secara keseluruhan. Persentase jumlah anak balita yang mengalami gizi buruk jauh lebih tinggi dari angka rata-rata provinsi dan nasional, dan tingkat cakupan imunisasi secara signifikan lebih rendah di pulau ini. Bila dihitung secara per kapita, pengeluaran publik untuk kesehatan secara signifikan lebih rendah di pulau Nias dibandingkan dengan rata-rata di Sumatera Utara atau Indonesia. Cakupan untuk kenaikan lebih jauh dari pengeluaran kesehatan saat ini terbatas. Kenaikan pengeluaran untuk kesehatan lebih banyak dialokasikan untuk fungsi rutin, terutama untuk membayar gaji tenaga kesehatan. Pengeluaran harus diarahkan untuk menutupi kesenjangan tenaga kesehatan di daerah terpencil, serta untuk operasional dan pemeliharaan sarana kesehatan yang ada.



Infrastruktur

Akses ke infrastruktur dasar, seperti air bersih, sanitasi, dan listrik di pulau Nias masih terus tertinggal dari rata-rata Sumatera Utara dan Indoensia secara keseluruhan. Jaringan jalan sangat terbatas di daerah pedesaan dan pembangunan jalan baru maupun pemeliharaan atas jalan yang ada sangat mahal dan memakan waktu lama karena kurangnya peralatan mesin dan sebagian besar material harus didatangkan dengan kapal. Meskipun terdapat kebutuhan yang teridentifikasi pada sektor infrastruktur, baik secara riil maupun persentase dari total belanja, keseluruhan pengeluaran untuk infrastruktur di Nias dan Nias Selatan menurun secara signifikan dari Rp. 58 milyar pada tahun 2001 menjadi Rp. 25 milyar pada tahun 2005. Rendahnya prioritas yang diberikan untuk sektor utama ini pada tahun-tahun belakangan telah menghambat upaya pembangunan untuk membuka akses ke desa-desa terpencil di Nias dan Nias Selatan. Alokasi sumber daya untuk operasional dan pemeliharaan atas infrastruktur yang ada mendapat perhatian yang relatif sedikit, sementara biaya personil mengambil porsi terbesar dari pengeluaran rutin di kedua kabupaten. Perjalanan dinas mengambil porsi yang meningkat dari dana kedua kabupaten.

Read more...

Korupsi Ancam Pemilu Nias Selatan

Sabtu, 01 Agustus 2009

MEDAN – Dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Nias Selatan, mengancam kelancaran pelaksanaan pemilu legislatif ulang dan pemilu presiden yang digelar bersamaan 8 Juli mendatang. Dugaan terjadinya korupsi ini terkuak mana kala kas sekretariat daerah sama sekali tak ada, padahal daftar isian pelaksanaan anggaran untuk sekretariat KPU Nias Selatan dari Sekretaris Jendral KPU telah diterima.

Anggota KPU Sumut Divisi Pemutakhiran Data dan Penghitungan Suara Turunan Gulo yang melakukan supervisi langsung ke KPU Nias Selatan, terkait pelaksanaan pemilu ulang, mengungkapkan, sangat mungkin dana di sekretariat KPU Nias Selatan dikorupsi pejabat terkait seperti bendahara. “Masak ketika komisioner KPU Nias Selatan meminta dana untuk bimbingan teknis bagi anggota PPK, dananya sama sekali tidak ada. Padahal bimbingan teknis ini sudah dialokasikan dananya,” ujar Turunan di Medan, Minggu (28/6).

Kondisi ini membuat sebagian persiapan pemungutan suara ulang dan pemilu presiden di Nias Selatan terganggu. “Bagaimana tidak terganggu kalau honor KPPS, PPS dan PPK tidak bisa dibayarkan KPU Nias Selatan. Malah untuk membayar honor ini, KPU Nias Selatan terpaksa berutang dulu ke pemerintah daerah setempat,” katanya.

Menurut Turunan, korupsi di sekretariat KPU Nias Selatan terjadi akibat ketidaktahuan komisioner. Seluruh anggota KPU Nias Selatan merupakan anggota baru, yang menurut Turunan tak tahu menahu seluk beluk pembiayaan program di sekretariat. “Selama ini anggota KPU Nias Selatan dikibuli oleh oknum bendahara dan pejabat sekretariat,” katanya.

KPU Sumut telah meminta Inspektorat di KPU pusat segera menyelidiki persoalan ini. “Kami juga sudah meminta polisi untuk memeriksa dugaan korupsi di sekretariat KPU Nias Selatan,” katanya.

Sumber: Kompas.com

This entry was posted on Monday, June 29th, 2009 at 4:05 pm and is filed under Berita Lain Lain. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed.

Read more...

Penyebab Kemiskina Nias Selatan

Umumnya, orang dari luar Nias yang pernah ke Pulau Nias selalu memiliki kesan: mahar, jujuran (böwö, gogoila) perkawinan Nias mahal! Oleh karena itu, ketika mereka mau (baca: akan) menikah dengan gadis Nias ada semacam ketakutan, keengganan, keragu-raguan. Dan, tentu hal ini adalah kesan buruk! Ada apa dengan sistem adat perkawinan Nias? Dalam artikel ini, ada baiknya saya membeberkan fakta.

Sebelum tahun 1990-an (dan mungkin masih diterapkan sampai sekarang), böwö dalam adat perkawinan Nias masih terasa mahal (fakta ini berdasarkan pengalaman saya di kampung halaman yakni di Dangagari, Kecamatan Mandrehe).

Padahal etimologi böwö adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Sama halnya kalau kita memiliki hajatan, entah karena ada tamu, dsb., lalu kita beri “fegero” kepada tetangga kita. Ini bukti kepekaan untuk selalu memperhitungkan orang lain di sekitar kita. Lantas kenapa böwö itu kayak dikomersialkan? Kalau pertanyaan ini kita lemparkan ke orangtua kita atau ke orang zaman dahulu, pasti salah satu jawabannya adalah: da’ana hada Nono Niha (ini adalah adat Nias). Pernyataan semacam itu tentu mengokohkan dimensi statis budaya Nias. Padahal seharusnya, budaya itu dinamis sesuai perkembangan zaman. Bahkan dalam pernyataan itu seolah adat yang terpenting dan bukan manusianya. Saudaraku, adat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk adat.



Selektiflah menerapkan adat yang tidak membangun. Dulu böwö itu masih masuk akal. Karena sistem perekonomian Nias masih barter. Artinya böwö dihitung berdasarkan jumlah babi dan bukan uang. Sekarang kalau böwö itu di-uangkan, maka akan menjadi beban kehidupan berlapis generasi, karena babi tidak murah (misalnya, seekor babi yang diameternya 8 alisi harganya bisa mencapai Rp 900. 000 – Rp 1 Juta).

Nah, kalau dalam gogoila (böwö) terdapat 25 ekor babi, coba Anda bayangkan berapa juta. Belum lagi beras, dan emas (balaki, firö famokai danga, misalnya). Padahal mencari uang di Nias sangat susah. Karena mayoritas masyarakat Nias mata pencaharian mereka adalah bersawah/berladang dan menyadap karet (dari pohon hafea). Seperti kita tahu bahwa sawah di Nias tidak seperti Di Pulau Jawa yang sawahnya dikelola dengan baik: ada irigasi. Setahu saya, rata-rata sawah di Nias tidak ada irigasi yang dibangun oleh pemerintah atau yang dibangun oleh swasta. Pengairan sawah di Nias cuma mengandalkan hujan! Sedangkan menyadap karet, juga ada masalah. Karet bisa diharapkan menjadi duit jika tidak ada hujan. Coba kita bayangkan jika musim hujan, mau makan apa masyarakat Nias? Singkatnya, mengumpulkan dan mencari uang di Nias yang puluhan juta, bisa bertahun-tahun.

Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang harus di-folaya (dihormati dengan cara memberi babi). Selain itu, babi pun banyak yang harus disembelih dengan berbagai macam fungsional adatnya, misalnya: tiga ekor bawi (babi) wangowalu, seekor babi khusus untuk fabanuasa, seekor untuk kaum ibu-ibu (ö ndra’alawe) yang memberikan nasehat kepada kedua mempelai, seekor untuk solu’i (yang menghantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki), dan masih banyak lagi babi-babi yang disembelih. Selain yang disembelih, ada juga babi yang dipergunakan untuk “famolaya sitenga bö’ö”.

Di sini saya sebut beberapa saja: sekurang-kurangnya seekor untuk “nga’ötö nuwu” (paman dari ibu mempelai perempuan), sekurang-kurangnya seekor sampai tiga ekor untuk “uwu” (paman mempelai perempuan), seekor untuk talifusö sia’a (anak sulung dari keluarga mempelai perempuan), seekor untuk “sirege” (saudara dari orangtua mempelai perempuan), seekor untuk “mbolo’mbolo” (masyakat kampung dari pihak mempelai perempuan), seekor untuk ono siakhi (saudara bungsu mempelai perempuan), dsb. Dan masih ada pernik lain, yakni fame’e balaki atau ana’a, berupa famokai danga kepada nenek dan ibu mempelai perempuan; juga fame’e laeduru ana’a kho ni’owalu (pemberian cincin kepada mempelai perempuan, cincin itu diharuskan emas).

Singkatnya, jika adat itu diterapkan pada zaman sekarang, maka Anda harus menyediakan duit puluhan-ratusan juta rupiah hanya untuk membeli babi, belum lagi biaya pas hari “H” perkawiannya. Jadi, böwö ini dibagi-bagi. Dan, kadangkala dalam pembagian semacam ini muncul berbagai macam perseteruan, permasalahan.



Akibat Böwö yang Mahal


a. Akibat Negatif

Ada berbagai macam problem sosial dan juga ekonomi yang disebabkan oleh mahalnya böwö di Nias. Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa argumen berdasarkan fakta yang memang saya dengar dan alami.

Pertama, akibat negatif yang paling utama dari böwö yang mahal adalah kemiskinan dan pemiskinan. Alasannya boleh dilihat dalam uraian akibat negatif berikutnya.

Kedua, akibat mahalnya böwö, orangtua si anak bukan lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anaknya, tapi mereka bekerja untuk membayar utangnya, membayar böwö yang dibebankan kepadanya. Bahkan utang böwö yang belum sempat terbayarkan oleh orangtua si anak mesti si anak harus bersedia membayarnya. Mahalnya böwö semakin diperparah sejak masyarakat Nias mengenal uang, karena böwö juga diuangkan. Mempelai laki-laki yang tidak mampu mencukupi nilai böwö yang harus ia bayar, tidak ada pilihan lain baginya selain meminjam. Anda tahu yang namanya pinjaman pasti ada bunganya perbulan. Dan, lingkaran semacam inilah yang menyebabkan banyak keluarga Nias hanya bekerja untuk membayar bunga utangnya.

Ketiga, mungkin kita pernah mendengar cerita Nono Niha yang berani melakukan pembunuhan hanya karena tidak dibayarkan kepadanya böwö yang sudah dijanjikan. Ini adalah akibat sosial yang sangat fatal dari böwö yang mahal. Hanya demi seekor babi atau berapalah itu, ia berani menghabiskan nyawa orang lain dan harus mendekam di penjara. Ini sungguh memilukan sekaligus memalukan.

Keempat, akibat keempat ini masih ada kaitannya dengan akibat kedua di atas tadi. Kerapkali mempelai laki-laki jika menikah, apalagi dari keluarga yang pas-pasan (tidak mampu), terpaksa menjual tanahnya, menjual sawah-ladangnya, bahkan bila kepepet ia juga meminjam sejumlah uang atau menyusun kongsi (kalau di Mandrehe, pas acara femanga ladegö, pihak dari mempelai laki-laki mengajak semua pihak untuk membantunya dan pada saat itu babi mesti disembelih sebagai tanda pemberitahuan kepada orang-orang yang akan menolongnya/yang mau memberikan kongsi). Jangan salah, jika meminjam uang, bunga bukan main bung. Dan, itu tradisi buruk Nias selama ini. Masyarakat Nias seolah melingkarkan tali di lehernya sendiri. Atau seperti seorang yang menggali lobang, ia sendiri yang jatuh ke dalamnya. Coba kita bayangkan, tanah habis dijual, masih ngutang lagi. Lalu di mana keluarga baru ini mengadu nasib, mencari nafkah sehari-hari? Mungkin ada yang masih rendah hati : menjadi kuli kepada orang lain. Dan, hal ini adalah «perbudakan» yang disengaja, yang kita buat sendiri walaupun sebenarnya bisa kita hilangkan, bisa kita atasi dengan tidak menerapkan sistem böwö yang mahal.

Kelima, jika orangtua masih berada dalam lingkaran «utang» sudah bisa dipastikan bahwa para orangtua tidak mungkin bisa menyekolahkan anaknya. Lantas kapan pola pikir Nias bisa ber-evolusi, berkembang, dinamis jika terjadi ke-vakum-an seperti ini, hanya karena böwö yang mahal itu. Melihat penerapan böwö yang tidak menguntungkan itu, sebaiknya para orangtua yang berasal dari Nias (apalagi mereka yang masih menerapkan böwö yang mahal) mesti menyadari apa tugas pokok jika sudah membentuk keluarga. Selain itu, mesti disadari: apa arti böwö yang sebenarnya. Saya rasa ada benarnya jika böwö adalah salah satu faktor utama kemiskinan di Nias secara turun-temurun. Boro-boro si orangtua menyekolahkan anaknya, utang böwönya saja belum lunas. Hal ini menjadi kendala bagi orang Nias sendiri untuk mencetak generasi penerus yang berpendidikan. Dan, jika demikian, jangan kaget jika berapa puluh tahun lagi (baca : ke depan) Nias tidak akan mungkin membenahi kekurangan sumber daya manusianya.

Keenam, apakah Anda bahagia jika memiliki utang ? pasti tidak. Bagaimana suasana hati Anda jika memiliki utang? Pasti tidak tenteram, apalagi kalau setiap minggu, bulan ditagih. Ini suatu ancaman. Jika demikian, orang yang memiliki utang, juga pasti selalu tenggelam dalam kegelapan, bukan lagi kebahagiaan (tenga fa’owua-wua dödö ni rasoira ero ma’ökhö bahiza fa’ogömi-gömi dödö). Ketidak-tenteraman hati seperti ini bisa merembes ke sasaran lain: suami-istri sering bertengkar, suami menyalahkan istrinya yang memang pihak penuntut böwö; orangtua dan anak saling bertengkar, berkelahi; orangtua sering memarahi anaknya. Maka jangan heran jika banyak keluarga di Nias yang “makanan” sehari-harinya adalah “broken home”, perseteruan. Lalu kapan sebuah keluarga mempraktekkan cinta sebagai suami-istri, jika situasinya seperti ini? Marilah kita menjawabnya sendiri-sendiri!

Ketujuh, böwö identik dengan pemberian sejumlah harta benda, sejumlah uang, sejumlah babi yang harus ditanggung oleh pihak mempelai laki-laki. Nah, jika demikian, apa bedanya sistem böwö Nias ini dengan perdagangan perempuan dan perdagangan anak? Menurut saya, jika para orangtua memiliki motif bahwa böwö (gogoila) dijadikan sebagai modalnya, maka pada saat itu mereka termasuk dalam lingkaran perdagangan anak mereka sendiri. Dan hal ini bertentangan dengan hak azasi manusia bung!



b. Akibat Positif

Pihak mempelai laki-laki, sebelum hari “H” perkawinan selalu mengumpulkan semua kerabatnya (seperti fadono, sirege, fabanuasa). Tentu dengan tujuan agar mereka-mereka ini bisa menolongnya, bahu-membahu menanggung böwö. Dari sisi ini ada juga beberapa hal positif.

Pertama, kekerabatan, fambambatösa, fasitenga bö’ösa semakin terjalin, semakin harmoni. Dan, menurut kepercayaan Nias, semua “fadono” yang taat kepada matua nia (mertua) akan diberkati (tefahowu’ö), oleh karena ia banyak mendapat rezeki (hal ini memang tidak saya yakini, ini ilusi bagi saya sendiri!).

Kedua, fadono selalu diingatkan akan kewajibannya. Hal ini bisa jadi menumbuhkan kesadaran akan “tanggung jawab” yang sejati kepada para fadono. Dalam sistem adat perkawianan Nias, fasitengabo’osa, fadonosa atau fambambatösa terjadi selama 3 generasi. Selain itu, mempelai laki-laki memiliki kewajiban untuk selalau menjadi soko guru (tiang) bagi saudara mempelai perempuan (saudara dari istrinya yang dalam bahasa Nias disebut la’o). Misalnya, jika salah seorang saudara dari mempelai perempuan menikah, si mempelai laki-laki mesti membantunya. Di satu sisi ini baik. Tetapi di sisi lain, hal ini membebankan.

Ketiga, dengan böwö yang mahal, setahu saya para orangtua di Nias tidak mudah cerai (tetapi jangan-jangan karena orang Nias sendiri memang tidak biasa bercerai).
Melihat ambivalensi (negatif dan positif) böwö seperti yang terurai di atas, maka sebanarnya penerapan böwö yang mahal lebih banyak sisi buruknya, sisi negatifnya. Oleh karena itu, di bawah ini saya menguraikan bagaimana “problem solving”-nya.



Problem Solving Menyangkut Böwö

Pada bagian terakhir ini, saya juga mencoba mencari solusi yang menurut saya tepat, dan perlu direfleksikan (baca: diinternalisasikan) oleh semua masyarakat Nias.

Tesis Pertama, lalu bagaimana adat ini, apakah harus tetap diterapkan? Kalau menurut saya secara ritual adat Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena ini warisan berharga dari leluhur Nias. Ritual dalam arti: penghormatan kepada paman, kepada saudara, kepada ibu mertua, kepada nenek, kepada penatua adat, dst..

Namun bentuk penghormatan itu bukan dengan material, bukan dengan pemberian babi yang sekarang tergolong mahal di Nias (tetapi jika ada keluarga yang mampu dengan penghormatan secara material, silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu adalah hasil pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi). Bentuk penghormatan itu bisa melalui perhatian, menolong kerabat, mertua dikala mengalami situasi yang memang memerlukan bantuan tenaga manusia. Jadi, penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan bukan material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang Nias adalah budaya, seperti: maena, tarian (tarian baluse, tari moyo, hoho, dst.), fame’e afo, ni’oköli’ö manu, dst. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini justru maena semakin hari semakin tidak dikenal lagi oleh generasi muda Nias. Padahal, tarian maena adalah salah satu tarian rakyat Nias yang kalau dilestarikan secara benar menjadi ciri khas dan kebanggaan Nias.

Setiap orangtua pasti bahagia jika anaknya menjadi “orang”. Namun, jika para orangtua Nias belum menyadari bahwa böwö itu sangat membebankan maka saya kurang tahu sampai kapan masyarakat Nias akan menyadari bahwa pola pikir semacam itu justru menenggelamkan orang ke lembah kemiskinan. pengalaman saya sendiri, kadang-kadang böwö itu diperebutkan antara pihak paman, talifuso, dan juga so’ono (dari pihak saudara dan juga orangtua mempelai perempuan). Ironinya (masih terjadi) babi-babi yang mereka terima itu dijadikan sebagai modal. Ini komersial bung dan apa bedanya dengan “peradangan anak”? ini bukan melebih-lebihkan, hal ini sungguh terjadi pada zaman dahulu kala (dan mungkin sampai sekarang, walaupun tidak sebanyak dulu).

Tesis kedua, setiap orangtua yang berpendidikan mencoba menjadi pilar untuk mengubah tradisi Nias yang justru membebankan. Mula-mula para orangtua itu mesti melakukan penyuluhan kepada anaknya dan oleh karena itu juga jangan mereka terapkan böwö yang mahal kepada anak mereka sendiri. Tidak selamanya bahwa budaya itu positif dan manusiawi. Selain böwö di Nias yang bisa mengakibatkan kemiskinan terstruktur, saya juga mengambil sample lain. Misalnya, budaya orang-orang Eskimo yang menyembelih orangtua mereka jika sudah tua. Menurut masyarakat Eskimo, tindakan mereka ini memiliki nilai yang tinggi: mencoba menyelamatkan orangtua mereka dari penyakit tua yang bisa membawa pada penderitaan. Bahkan tindakan itu adalah salah satu bentuk perwujudan penghormatan kepada orangtua. Seperti kita tahu bahwa menghilangkan nyawa orang lain, bertentangan dengan hukum kodrat yang dikenal oleh orang Kristen, terutama dalam gagasan Santo Thomas Aquinas: Hukum kodrat adalah pemberian dari surga, anugrah tertinggi dari Allah yang tidak bisa diciptakan oleh manusia. Manusia lahir dan mati, itu adalah hak Allah.

Tesis ketiga, tokoh agama harus terlibat dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat Nias yang masih menerapkan böwö yang mahal. Sebagai orang Nias, saya berterima kasih (juga salut) kepada Pastor Mathias Kuppens, OSC (misionaris Ordo Sanctae Crucis yang berkewarganegaraan Belanda), yang cukup antusias untuk memberikan pemahaman kepada orang Nias (terutama di Kecamatan Sirombu dan Mandrehe) bahwa böwö yang mahal tidak membangun. Beliau adalah salah satu tokoh agama Katolik yang cukup berhasil menekan jumlah besarnya böwö. Namun, perjuangan beliau bukan tanpa hambatan. Ada beberapa orang Nias yang pernah melontarkan kata-kata pedas, mencoba menentang kebijakan Pastor Mathias, sang pencinta Nias itu. Tetapi Pastor Mathias menanggapi dengan tindakan yang diwarnai kerendahan hati: ia tidak pernah berprasangka negatif (tidak su’udzon) walau ia dicerca. Ini luar biasa.

Tesis keempat, Dinas Pendidikan Kabupaten Nias dan Nias Selatan, seharusnya memikirkan bagaimana jika penyuluhan tentang böwö diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan lokal” atau semacam pelajaran “ektra kurikuler”. Menurut saya, böwö dan juga adat Nias yang lain perlu dijelaskan kepada generasi muda agar mereka kelak mengerti dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan oleh karena itu, mereka kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak membangun dari adat Nias itu sendiri; sehingga budaya Nias tidak mandeg pada ke-statis-an melainkan berkembang (dinamis). Dan, tugas ini tentu didelegasikan kepada para guru yang mengajar: mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.

Read more...

Tata Kelola Ekonomi Nias Selatan Terburuk

JAKARTA,SELASA - Kabupaten Nias Selatan mendapatkan peringkat terburuk dalam Tata Kelola Perekonomian yang baik di daerah berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Nias memperoleh rangking 243 dari 243 kabupaten dan kota di 15 provinsi yang menjadi responden dalam survei tersebut.
"Supaya lebih fair (adil) , ada baiknya pemerintah daerah yang berkinerja terburuk juga diungkapkan dalam penyerahan penghargaan KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah). Sebab, mempermalukan di depan umum itu jauh lebih efektif mendorong perbaikan kinerja pemerintah daerah," ujar Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan sambutannya dalam Penyerahan KPPOD Award di Jakarta, Selasa (22/7).
Dalam Siaran Pers resminya, KPPOD menilai, Kabupaten Nias Selatan mendapatkan skor 41,4 persen atau terendah dari 243 kabupaten yang disurvei. Setingkat lebih baik dari Kabupaten Nias Selatan adalah Kabupaten Labuhan Batu, keduanya ada di Provinsi Sumatera Utara.
Kemudian di peringkat tiga terbawah ada Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. L alu di posisi keempat terrendah ada Kabupaten Nias, Sumatera Utara. Serta di peringkat lima terbawah ditempati Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi Riau.

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Columnus by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP